Persami Punya Cerita
Tentang Kita
“Apa lagi ya?“ Aku berpikir sejenak saat aku
berada di Supermarket. Malam ini aku sedang mempersiapkan segala kebutuhanku
untuk acara besok. Sekolahku mengadakan persami alias perkemahan sabtu minggu.
Setelah berapa menit aku mengecek semuanya,
“Oke sudah semua” kataku. Aku berjalan sambil
meneteng keranjang yang berisi belanjaanku untuk membayarnya ke kasir. Satu persatu barang belanjaanku dihitung.
“Rp 65.750,00 mba?” kata penjaga kasir.
Aku segera mengambil duitku di saku celana.
Saat aku sedang merogoh saku celana seseorang menyapaku.
“Hai, Cha” Aku berdeham sambil menoleh. Tak ku sangka seorang
cowok berdiri di belakang ku dengan tatapan meremehkan.
“Eh kamu ngagetin aja. Ngapain kamu kesini?” kataku
sinis.
“Main” jawabnya singkat. Aku mengernyitkan
dahi. Cowok itu langsung tertawa melihat ku kebingungan.
“Hahaha.. Lucu banget sih kamu! Dimana-mana
kalo orang pergi ke Supermarket ya belanja lah. Masa iya main?” katanya dengan
sisa-sisa tawanya.
“Ih apaan sih kamu. Gak lucu malah ketawa” kataku
sambil memalingkan muka keluar Supermarket.
“Kamu mau belanja juga buat besok?” tanyanya.
“Iya” jawab ku singkat. Aku berfikir sejenak
“Kenapa juga orang ini jadi sok akrab pada ku? Toh, disekolah aku bagaikan
musuh baginya.” Batin ku.
“Mba, maaf apa belanjaannya jadi dibeli?”
kata penjaga kasir, membuyarkan kebisuan ku.
“Ya ampun aku sampai lupa mau bayar
belanjaan. Gara gara dia sih” batin ku sambil melirik kearah cowok itu. Cowok
itu ternyata sudah menghilang.
Aku segera mengambil uang seratus ribuan dan
menyerahkannya pada penjaga kasir. Penjaga kasir itu tersenyum setelah
mengembalikan uang kembalian.
“Terima kasih, selamat berkunjung kembali”
kata penjaga kasir ramah. Aku hanya tersenyum memandangnya lalu beranjak pergi.
Aku
menyalakan motorku yang terpakir manis di depan Supermarket lalu segera
bergegas pulang “Brummm” Aku menggas motorku meninggalkan halaman Supermarket.
Sejenak aku menoleh ke pintu Supermarket yang transparan karena terbuat dari
kaca, dan melihat cowok itu tersenyum sambil mengangkat satu alisnya.
Azan Subuh terdengar begitu merdu di telinga
ku. Tak lama setelah itu, pancaran sinar matahari secara perlahan menghiasi
langit. Aku tersadar dan perlahan membuka mata. Sebenarnya aku masih pingin
berlama lama di tempat tidur karena
pasti malam ini aku akan terjaga sepanjang malam. Menginap di sekolah? Seru sih
bareng teman teman. Tapi….. sudahlah lupakan! Aku segera bangun dan merenggangkan tubuhku
sejenak. Dan beranjak ke kamar mandi. Aku mengambil handuk lalu menyampirkannya
di bahu ku. Aku melihat mamaku sedang memasak di dapur untuk sarapan pagi ini.
Mama ku tersenyum memandang ku
“Sudah bangun? Mau dibuatkan teh tidak?
Sholat subuh dulu Nduk! (panggilan kesayangan untuk anak perempuan dalam bahasa
Jawa). Aku mengangguk menjawabnya sambil tersenyum lalu beranjak untuk mandi
dan berwudhu. Kini aku sedang sarapan bersama Papa dan Mamaku. Aku anak tunggal
dikeluargaku. Aku cukup kesepian, kadang aku merasa, ingin sekali memiliki
kakak maupun adik. Aku menyantap masakan mama yang lezat dengan lahap.
Sesudahnya aku segera mengambil tasku yang berisi barang-barang untuk berkemah
yang telah ku persiapkan tadi malam.
“Ayo Pa!” ajakku. Kali ini aku diantar oleh Papa
menuju sekolah karena bawaanku ini berat sekali. Apalagi aku Pinru (pimpinan
regu) jadi harus mempersiapkan semua keperluan anggotaku juga. Papa menyalakan
mesin motor. Aku berpamitan pada mama terlebih dahulu.
Aku berjalan gontai menuju kelas untuk menyimpan
tasku yang besar ini, seperti menyembunyikan anak gajah di dalamnya. Setibanya
dikelas aku melihat sahabat-sahabat ku sedang berceloteh riang.
“Hai, Cha” sapa Rana ramah. Dia salah satu
sahabatku orangnya manis, berpostur tubuh tinggi dan orang yang paling senang aku ajak
curhat (curahan hati). Aku hanya tersenyum.
“Wow! Kamu bawa apa aja Cha? ” tanya
sahabatku, Rizkita. Sahabat ku ini memang paling bawel. “Bawa bom” jawabku asal
dalam hati.
“Jangan-jangan
kamu bawa bom ya?” tebaknya. Aku kaget mendengar tebakannya. Bagaimana bisa dia
menebak fikiranku? Apa dia pesulap? Atau dia memiliki indra ke-enam? Oh tidak
mungkin, aku telah lama mengenalnya. Yang aku ketahui selama ini kelebihannya
hanya banyak bicara saja. Oke mungkin kali ini dia hanya beruntung menebak
fikiranku. Aku kesal dibuatnya. Sengaja ku monyongkan bibirku, mungkin ku kira
ini cukup untuk menambah kesan kesal diwajahku. Mereka tertawa melihat mulutku
yang berpose kurang baik karena diledek. Aku segera bergabung dengan sahabat
dan teman-temanku membicarakan gosip yang lagi heboh, hehehe… maklum anak
perempuan .
Pagi ini sebelum acara dimulai kami di
perintahkan untuk berbaris dilapangan untuk apel. Kami berbaris berdasarkan
masing-masing regu. Karena aku pinru, aku baris paling depan. Kami melaksanakan
apel ini dengan hikmat. Pembina menyampaikan jadwal kegiatan selama acara
persami berlangsung serta berbagai pengarahan. Aku mendengarkannya dengan
terpaksa, yah mau gimana lagi? aku ini kan pinru, aku harus bisa membimbing
anggota nantinya. Apel pun selesai, kami bubar dan segera melaksanakan tugas
dan kegiatan yang sudah diberikan.
Matahari memperlihatkan kerjanya yang sangat
keras. Sialnya, saat itu aku sedang berdiskusi dengan reguku di lapangan,
mempersiapkan yel yel dan atraksi untuk acara api unggun nanti malam. Teriknya
membuat peluh menetes di dahiku. Tiba-tiba ada yang memanggilku dari belakang.
“Elzane Bella Ramandha” panggilnya. Aku ragu
menoleh ke belakang, habis suaranya kecil sekali hampir mirip dengan bisikan.
Aku memperhatikan sekitarku. Tidak ada yang terlihat seperti mencariku. Aku
setengah tertawa karena Rizkita memang lagi melontarkan leluconnya.
“Eca, kamu dipanggil tau!” jelas Ficha.
“Elzane Bella Ramadha” panggilnya lebih
keras. Aku reflek menjawab “Iya saya” kataku cepat sambil mencari seseorang
yang memanggilku.
“Itu di belakang kamu!” seru Ficha.
Aku menoleh kaget “Eh iya kenapa?” tanyaku sambil
mendongak. “Cowok itu lagi, Jangan sampai dia buat masalah lagi” batin ku. Dia
kakak kelasku, namanya Vino. Memang, tampangnya sih lumayan cakep dan postur
tubuhnya tinggi, banyak ditaksir cewek cewek, pintar, selalu disanjung guru. Tapi
bagiku dia sangat menyebalkan, tidak keren-keren banget, suka membuatku kesal
dan yang paling aku tidak suka tatapannya kepada ku, seolah-olah meremehkan.
Aku berdiri dan mengulang pertanyaanku karena
tampaknya dia sedang melamun.
“Kenapa? Bisa tidak sih, lebih sopan sedikit
kalau bicara. Tidak usah keras-keras bisa kan?” tanyaku dengan tegas.
“Eh kok jadi kamu sih yang marah. Seharusnya
aku yang marah, aku sudah memanggilmu tapi tidak juga didengarkan” katanya.
Aku
jengkel “Sekarang, kenapa kamu memanggilku?” semprotku. Teman temanku menoleh memperhatikanku.
“Dipanggil Kak Ari” jawabnya singkat.
“Bilang dari tadi kenapa, buang buang waktu
ku aja!” kataku sambil ngeloyor pergi. Vino mengernyitkan dahi sambil menatapku
berlalu.
Acara api unggun begitu meriah. Batang kayu menampakkan
apinya yang begitu riang berkobar seolah mengatakan “ku bakar semua yang ada di
dekat ku” wow! Keren. Masing-masing regu menampilkan aktraksi dan yel yel,
termasuk juga reguku. Semuanya berjalan lancar. Kami semua melingkari lapangan
sambil bernyanyi. Sialnya lagi, para pembina pramuka menyuruh kami melakukan
genggaman persahabatan. Menyenangkan sih! Tapi… coba bayangkan! cowok
menyebalkan itu berada disampingku sekarang. Aku kesal sekali. Aku sempat protes
ke pembina kami, tapi mau tak mau ku harus menurutinya. Toh, kalau aku segan
berarti aku ada apa-apa lagi dengannya. Ih enggak banget!
Selesai acara aku ingin membersihkan tubuh
ku. Agar aku tidur dengan nyaman. Aku merasa tubuh ku ini lengket sekali,
setelah seharian terpanggang matahari dan berbaur dengan debu. Ih tidak kerasan deh pokoknya.
“Ca,
buruan!” Rana mengingatkan, dia telah berada di dekat pintu kelas. Yap! memang
persami kali ini tidak seperti pada umumnya, tidak ada tenda, tidak di hutan
tapi di kelas. Alasannya jelas untuk mengurangi resiko yang tidak bisa
dibayangkan, berhubung juga kami belum mahir untuk berada di alam terbuka. Ya
seperti ini sudah cukup lah!
“Iya tunggu, sabar sedikit kenapa” kataku.
Aku mengambil sikat gigi, sabun muka, handuk kecil, dan senter didalam tas ku, “Ayo!”
kataku kemudian berjalan.
“Eh lewat sana yuk!” ajak Ficha sambil
menunjuk sebelah timur jalan disamping gedung sekolah ku.
“Lewat sana gelap. Lagi pula kejauhan!”
jelasku, karena memang sebelah barat gedung sekolah lebih dekat dan disediakan
penerangan. Jalan untuk ke kamar mandi pun lewat sana.
“Uji nyali lah” ajak Ficha lagi.
Aku ragu ditambah perasaan tidak enak
menjalar di tubuh ku. Yang menjadi permasalahan di belakang gedung sekolah ku
itu, sungai yang hanya dibatasi tembok. Aku bergidik membayangkan apa yang akan
muncul disana ditambah saat ini malam dan suasana disana gelap gulita.
“Hem..”
Aku ragu, jujur saja aku takut. Ternyata Ficha dapat melihat wajah khawatir dalam diriku
“Kan
ada senter cha. Jangan bilang kamu takut ya?” kata Ficha seraya mengejekku, “Ayolah!
Kali ini saja” dengan tatapan memohon, ”tidak bakal terjadi apa-apa deh” Bujuk
Ficha meyakinkan.
Kami akhirnya menyerah mengikuti Ficha dan
berjalan melewati gedung sebelah timur sekolah ku. Hawa yang dingin begitu
menusuk hingga ke tulang, dan gelap tidak ada penerangan. Aku berjalan sambil
memegang senter untuk membantu kami menembus kegelapan malam. Tak sengaja saat
kami sudah berada di belakang gedung. Kami bersamaan menyenter sesosok bayangan
putih melintasi sinar yang kami sorot. Kami sama sama terdiam. Ini yang aku
takutkan terbukti. Oke kita panggil saja dia… Tante K. Setuju? Yah jantungku
serasa mencelos begitu melihatnya lagi lagi melintas. Huh! mungkin ini yang
dibilang apes kali ya?
“Aaaaaa..!” Teman temanku yang tersadar apa
yang kami lihat menjerit dan berlari pontang panting. Senter yang mereka pegang
terjatuh. Aku masih saja diam, kakiku tidak bisa bergerak. Aku menggigit
bibirku. Aku resah dan takut. Terdengar suara tawa yang membuat bulu kuduk ku
meremang. Desiran darahku begitu terasa. Jantungku berdebar tak keruan. Aku
panik. Satu.. dua.. satu.. dua.. aku mencoba mengambil napas dan menenangkan
diriku sendiri. Aku tak kuat! Aku tak sanggup! Tak sadar pipiku terasa hangat.
Air mata ku mengalir deras. Yap! aku menangis. Aku meringkuk ketakutan.
Terdengar suara langkah mendekati ku. Aku menangis lebih keras. “Oh tidak,
tolong jangan!” batinku. Dia menepuk pundak ku
“Waa..!” aku histeris.
“Waa..!” Ia pun ikut menjerit. Aku terpaku,
suara itu… Vino! Aku menoleh wajahnya tampak khawatir
“Cha, kamu baik baik saja kan?” tanyanya
dengan suara lirih.
Aku menggeleng. Aku yakin pasti wajah ku saat
ini jelek sekali, bisa diibaratkan seperti orang yang ditodong bajak laut
bersirip, masuk ke lubang buaya atau sarang harimau, dililit ular piton, berenang
bersama ikan firanha dan… Oke! mungkin ini berlebihan.
Tak lama kemudian terlihat sinar yang begitu
menyorot tubuhku, tentu saja bukan dari senterku. Aku melihat ke arah sinar
yang berada di sebelah kanan ku ternyata para pembina pramuka. Mereka menghampiriku,
dan mencoba menenangkan ku. Salah satu dari mereka memapahku, tak ku sangka
Vino juga ikut memapah ku meninggalkan belakang gedung sekolah ku yang sangat
seram, suram, dan apalah itu istilahnya!
Kini aku berada di kelas. Suasananya semakin
riuh, banyak anggota pramuka yang ikut ketakutan, para pembina mencoba
menenangkan. Aku tidak bisa melupakan kejadian tadi dan tidak akan pernah
melupakannya, itu cukup membuat ku trauma. Aku tidak bisa memerintahkan mata ku
untuk terpejam. Sahabat dan teman-temanku terus menenangkan sampai mereka semua
terlelap. Aku tetap terjaga.
Aku keluar untuk menikmati udara malam, siapa
tahu aku jadi bisa tertidur. Tampak para pembina berjaga di depan kelas. Saat
aku keluar, mereka tidak bertanya, munkin mereka paham akan keadaan ku. Mereka
malah menghiburku. Disana di tiga kelas yang berjarak dari tempat ku sekarang.
Aku melihat Vino. Ia sedang duduk sambil memandangi api unggun yang masih
menyala walaupun apinya sudah tidak seriang tadi. Aku menghamprinya bagaimana
pun tadi Ia sudah menolong ku.
“Hai, Vin” sapaku, sambil mengulum senyum
semanis-manisnya.
“Hai” jawabnya sambil tersenyum.
“Lagi meratapi api unggun ya? Atau lagi cari
wangsit?” tanyaku.
“Cari wangsit?” tanyanya sambil mengernyitkan
dahi
“Iya” jawabku sambil mengangguk.
“Hahaha” Dia malah tertawa. Kini aku yang
kebingungan.
“Kenapa? Lucu ya?” tanyaku.
“Iya kamu tuh lucu banget. Mirip anak TK tau”
katanya, sambil mengacak-acak rambutku. Aku manyun “aku kan sudah SD masa
dibilang anak TK, setahun kedepan pun aku akan memakai puth biru-biru ya kan?
Optimis!” gerutu ku dalam hati. Ia malah semakin tertawa terbahak-bahak. Tapi aku
merasa kan kenyamanan yang jarang aku rasakan. Biasanya aku selalu ingin
membunuh cowok itu kalau ia ada di dekatku. Tapi sekarang aku merasa dia adalah
teman, sahabat atau mungkin kakak? Hah, Yasudahlah! Yang penting saat ini aku
berniat untuk memperbaiki hubungannya dengan ku. Mungkin karena aku telah
menemukan sisi baiknya, dia peduli, perhatian pokoknya, ya begitulah!
“Ih dasar stres, ketawa mulu. Tapi buat
tadi..” aku menggangtungkan ucapan ku, “ma.. ka.. sih ya dan maaf” ucapku lirih.
“Iya sama-sama” dia tersenyum, “Mangkanya
lain kali jangan sok berani, udah tau penakut pakai uji nyali segala. Untung
aja cuman diliatin sambil diketawain coba kalau kamu sampai dicekik, gimana
hayo?” tanyanya dengan mimik muka serius. Aku bergidik membayangkannya. Mukaku
kembali panik.
“Hahaha, tuh kan mukanya jadi jelek gitu”
ucapnya sambil tertawa. Sial! Dia mengerjaiku.
Aku merengut melotot ke arahnya. Dia lansung bungkam. Wajahnya lucu
sekali.
“Hahaha,” kini aku yang tertawa. Vino pun
ikut tertawa, “Kak” sapaku tersadar dia lebih tua dariku kan? Ia menoleh, “Kita
teman kan?” tanyaku padanya. Terlihat kerutan didahinya. Aku menunggu
jawabannya.
“Tentu saja. Kamu boleh kok menganggapku apa
pun, asal jangan musuh saja” jawabnya tersenyum. Aku senang mendengar
jawabannya.
“Bener nih? Janji” kataku sambil menunjukkan
jari kelingkingku
“Janji” katanya. Dia menautkan kelingkingnya
dengan kelilingku. Sehingga kelingking kami pun bertautan. Kami mengobrol cukup
lama. Yap aku sangat senang. Aku pun seperti melupakan hal yang baru saja
terjadi.
Cukup lama kami berbincang-bincang ternyata
sudah larut malam. Aku butuh istirahat untuk semua yang melelahkan hari ini.
Aku kembali ke kelas, ku pejamkan mataku sebisa mungkin lalu bergegas masuk ke
alam mimpi.
Terkadang
kita buta karena emosi. Belum semua yang kita lihat dan kita nilai itu sesuai
dengan yang sebenarnya. Jangan mencoba hal hal yang konyol. Jujur aku kapok dan
tidak akan pernah ingin mengulanginya lagi. Dan mencoba untuk tidak begitu
mudah membenci orang. Justru orang yang kita benci terkadang dia lah orang yang
kita cari. Persami kali ini akan menjadi kenangan yang paling berkesan bahkan
sangat berkesan. Karena darinyalah ku petik pengalaman dan pelajaran yang
sangat berharga.
0 komentar:
Posting Komentar